Di antara Kranji dan Cakung, terdapat sebuah stasiun kecil yang pernah menjadi bagian penting dari perjalanan masyarakat. Walaupun tidak lagi berfungsi, stasiun ini menyimpan banyak kenangan bagi penumpang yang menggunakan rute Jakarta – Bekasi. Stasiun Rawabebek pernah memudahkan akses bagi warga sekitar untuk berkomuter antara dua kota besar tersebut.
Stasiun Rawabebek (RWB) merupakan stasiun kereta api nonaktif yang saat ini berada di Jalan Arteri Pondok Kopi-Kranji, Bekasi Barat, tepat di perbatasan Bintara dan Kota Baru. Stasiun ini dulunya terletak pada jalur KA Commuter Jabodetabek, menghubungkan Stasiun Jatinegara hingga Stasiun Bekasi. Dalam sejarahnya, stasiun ini menjadi bagian dari Daerah Operasi I Jakarta, memberikan kontribusi bagi mobilitas masyarakat.
Asal Usul Stasiun Rawabebek
Stasiun ini berdiri dengan dua peron berkanopi, dan kemungkinan besar dibangun saat pengembangan jalur ganda dan elektrifikasi menuju Stasiun Bekasi pada tahun 1992. Tujuan utama dari pembangunan stasiun ini adalah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menggunakan KRL sebagai pilihan transportasi sehari-hari untuk bekerja atau bersekolah. Dalam hal arsitektur, Stasiun Rawabebek memiliki kemiripan dengan Stasiun Buaran Lama yang juga telah nonaktif.
Dari perspektif sejarah, stasiun ini tidak hanya sekadar infrastruktur; ia mencerminkan sebuah usaha untuk mengintegrasikan solusi transportasi yang lebih baik bagi masyarakat. Namun, seiring berjalannya waktu, stasiun ini mulai dilupakan. Dengan kedekatannya yang signifikan dengan Stasiun Kranji, keputusan untuk menonaktifkan Rawabebek menjadi semakin mendesak, terutama dengan rencana pembangunan rel dwiganda untuk KRL di koridor Manggarai-Bekasi.
Dampak dan Persepsi Masyarakat Terhadap Pembongkaran
Keputusan untuk membongkar Stasiun Rawabebek ternyata disambut baik oleh masyarakat setempat. Banyak dari mereka merasa lega, mengingat lokasi stasiun tersebut sering disalahgunakan. Masalah keamanan dan kenyamanan menjadi isu utama; stasiun tersebut kerap dimanfaatkan oleh segelintir anak muda sebagai tempat berkumpul dengan aksi negatif seperti mabuk-mabukan dan pergaulan yang tidak sehat.
Kondisi stasiun yang gelap dan terbengkalai menjadikannya sebagai lokasi yang tidak aman, terutama di malam hari. Dengan pembongkaran tersebut, diharapkan lingkungan sekitar bisa lebih aman dan nyaman. Misalnya, hilangnya aktivitas negatif di area itu menjadi nilai tambah, dan saat ini lokasi tersebut telah disulap menjadi jalur dwiganda yang memudahkan perjalanan kereta, baik untuk KRL maupun kereta jarak jauh, dengan kecepatan yang dapat mencapai hingga 100 km/jam.
Dalam konteks ini, pembongkaran Stasiun Rawabebek dapat dilihat bukan hanya sebagai penghapusan infrastruktur yang tidak terpakai, tetapi juga sebagai langkah strategis untuk memperbaiki kualitas kehidupan masyarakat di sekitarnya. Sebagai contoh, setelah stasiun dibongkar, masyarakat tidak lagi terganggu oleh perilaku yang meresahkan, dan mereka dapat lebih fokus pada pengembangan aktivitas positif.