Menjelajahi jalur kereta api nonaktif bisa memberikan pengalaman yang unik dan menyenangkan. Di tengah kota Yogyakarta, kita masih dapat menemukan benang merah sejarah melalui peninggalan seperti rel dan stasiun yang mengingatkan kita akan masa lalu.
Berdasarkan data, Yogyakarta merupakan kota yang kaya akan warisan sejarah perkeretaapian. Salah satu contohnya adalah Stasiun Ngabean. Meskipun kini sudah tidak berfungsi, bangunan dan seluruh asetnya tampak masih terawat. Hal ini memberikan gambaran jelas tentang apa yang pernah menjadi pusat sektor transportasi di kota ini.
Sejarah Stasiun Ngabean di Yogyakarta
Stasiun Ngabean didirikan oleh perusahaan Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) dan resmi dibuka pada 21 Mei 1895 bersamaan dengan jalur Yogyakarta-Srandakan. Stasiun ini awalnya adalah stasiun penting yang memiliki lima jalur dan menghubungkan perjalanan kereta api hingga Pundong, melintasi kawasan Kotagede yang terkenal dengan kerajinan peraknya.
Pembangunan stasiun ini menjadi bagian integral dari pembangunan infrastruktur transportasi di wilayah tersebut. Menurut catatan sejarah, Stasiun Ngabean tak hanya melayani penumpang, tetapi juga barang, yang menjadikannya pusat kegiatan ekonomi lokal. Di satu sisi, arsitektur bangunan stasiun ini masih menunjukkan kokohnya konstruksi dengan plat nama “Ngabean” yang jelas terpampang di dinding, serta informasi ketinggian yang menambah nilai sejarah tempat ini.
Pengalaman Menelusuri Jalur Kereta Nonaktif
Walaupun jalur kereta api yang menghubungkan Stasiun Ngabean sudah tidak berfungsi, jejak-jejak sejarahnya masih dapat ditemukan. Kita bisa melihat tiang sinyal dan sisa batang rel yang tersisa di sekitar kawasan tersebut. Ini adalah sebuah pengalaman yang bisa menggugah rasa nostalgia dan menghargai sejarah perkeretaapian di Indonesia.
Menariknya, terdapat gang yang mengarah ke bekas percabangan jalur kereta api di sekitar stasiun. Gang ini, yang bernama Gang Masjid Al-Hasanah, memiliki lengkungan yang khas mirip dengan jalur kereta api. Menyusuri jalan ini memberikan nuansa tersendiri dan mengajak kita untuk membayangkan bagaimana dahulu lalu lintas kereta api berlangsung.
Sebagian besar jalur kereta api di Yogyakarta kini mungkin telah hilang, namun keinginan untuk mengaktifan kembali jalur-jalur tersebut masih ada. Jika diaktifkan, jalur ini bisa menjadi daya tarik wisata yang menarik, terutama bagi mereka yang ingin merasakan pengalaman bersejarah.
Secara keseluruhan, jika kita melihat kembali sejarah dan perkembangan jalur kereta api di Yogyakarta, tampak jelas bahwa masa lalu elastisnya tak hanya diukur dari kenyataan fisik, tetapi juga dari manfaat sosial dan budaya yang diwariskan.