Hari ini, 46 tahun yang lalu, tepatnya pada 11 Juli 1979, menjadi tanda kelam dalam sejarah penerbangan Indonesia dengan jatuhnya pesawat Fokker F-28 Fellowship MK1000. Insiden ini terjadi di Gunung Sibayak, Sumatera Utara, dan pesawat yang bernama “Mamberamo” tersebut dalam perjalanan menuju Bandara Polonia, Medan. Kecelakaan ini merenggut nyawa seluruh awak dan penumpangnya yang berjumlah 61 orang.
Pesawat Fokker F-28 PK-GVE lepas landas dari Bandara Talang Betutu, Palembang, menuju Medan. Namun, saat mendekati tujuan, pesawat tersebut menabrak Gunung Sibayak, sebuah gunung berapi yang terkenal di dekat Berastagi, Sumatera Utara. Insiden ini terjadi pada fase pendekatan, di ketinggian sekitar 1.690 meter di atas permukaan laut, dan semua 57 penumpang serta 4 awak tewas seketika.
Penyebab Kecelakaan Pesawat Fokker F-28
Kejadian tragis ini sering kali disangkutpautkan dengan fenomena terbang yang disebut Controlled Flight Into Terrain (CFIT). Ini adalah situasi di mana pesawat masih berada dalam kendali, namun secara tidak sengaja menabrak medan karena kesalahan navigasi atau kondisi cuaca. Selain itu, kurangnya presisi dalam navigasi dan alat bantu pendaratan yang minim juga menjadi faktor penentu. Banyak bandara di Indonesia saat itu belum memiliki radar atau ILS (Instrument Landing System) yang memadai, yang berperan penting dalam memastikan keselamatan penerbangan.
Faktor alam juga memperburuk keadaan, di mana Gunung Sibayak sering kali tertutup kabut. Kondisi ini berpotensi menyebabkan kesalahan dalam perhitungan posisi pesawat. Selain itu, fitur geografis di sekitar bandara juga tidak teridentifikasi dengan baik dalam peta navigasi yang digunakan oleh pilot. Insiden ini menjadi salah satu kecelakaan penerbangan paling mematikan di Indonesia pada tahun 1970-an, mengingat jumlah korban yang terlibat.
Dampak dan Pembelajaran dari Kecelakaan
Setelah insiden kecelakaan pesawat Fokker F-28 ini, banyak pelajaran penting yang diambil untuk meningkatkan keselamatan penerbangan di Indonesia. Kesadaran akan pentingnya alat bantu pendaratan yang memadai menjadi lebih terasa. Selain itu, pelatihan bagi para awak pesawat juga diperketat, dengan fokus pada penerapan prosedur navigasi yang lebih baik. Pemerintah dan otoritas penerbangan juga mulai memperhatikan penerapan standar keselamatan yang lebih ketat, berupaya untuk mencegah kecelakaan serupa terulang di masa depan.
Selama beberapa tahun setelah peristiwa ini, banyak langkah strategis yang diambil untuk memperbaiki infrastruktur penerbangan di Indonesia. Hal ini termasuk pengadaan perangkat navigasi modern serta peningkatan pelatihan untuk pilot dan awak pesawat. Dampak dari kecelakaan ini tidak hanya dirasakan oleh perusahaan penerbangan, tetapi juga oleh keluarga korban yang masih sulit melupakan tragedi tersebut. Oleh karena itu, penting bagi industri penerbangan untuk terus belajar dari pengalaman pahit ini agar keselamatan penumpang selalu menjadi prioritas utama.
Secara keseluruhan, tragedi jatuhnya Fokker F-28 di Gunung Sibayak telah menjadi cerminan penting bagi seluruh industri penerbangan di Indonesia. Dengan mengenang kembali kejadian ini, kita diingatkan akan pentingnya selalu mengedepankan keselamatan dan prosedur yang benar dalam setiap penerbangan. Memastikan bahwa kejadian seperti ini tidak terulang adalah tanggung jawab bersama dari semua pihak terkait.